Welcome Aboard

administrator :

by : kacamatasaya@gmail.com

Sabtu, 20 November 2010

TEORI PUBLIC RELATION
ANALISIS DAMPAK LEDAKAN GAS LPG 3 KG
Oleh :
Nama : Harris Syahjohan
Nim : 08220258
Ilmu Komunikasi / PR / V A
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2010
A. Gambaran Kasus
Kenaikan harga minyak mentah dunia pada tahun 2008 silam yang menembus angka hingga US$ 100 per barel(1), telah membuat Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji. Pemerintah beralasan program ini dimaksudkan untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) guna meringankan beban keuangan negara hingga 15-20 triliun rupiah per tahun. Bagi jangka panjang, program ini lebih menjamin ketersediaan pasokan kebutuhan energy bagi dalam negeri. Keuntungan lainnya dari pemakaian elpiji bagi rumah tangga adalah lebih praktis, efisien, dan lebih bersih.
Pada awalnya, Pemerintah menganggarkan dana sekitar 60 triliun rupiah untuk subsidi bahan bakar minyak yaitu, premium, solar, dan minyak tanah. Dari ketiga bahan bakar ini, minyak tanah mendapat porsi paling besar yaitu sekitar 50% dari anggaran. Karena itu harga minyak tanah menjadi paling murah, maka dari itu minyak tanah sering disalahgunakan seperti, diselundupkan, dijual pada industry serta dicampur dengan bahan bakar lain.
Program yang mulai diterapkan pada tahun 2007 ini, diimplementasikan dengan membagikan paket tabung elpiji beserta isinya, kompor gas dan accessoriesnya kepada rumah tangga dan usaha mikro pengguna minyak tanah.
Dalam melaksanakan program ini, setidaknya terdapat tiga pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk melaksanakan program konversi. Ketiga pihak tersebut antara lain :



(1) sumber http/international.okezone.com/ 3 Januari 2008
1. Kementrian Negara Koperasi dan UKM. Kementrian ini ditunjuk sebagai penyedia kompor dan accessorisnya (regulator dan selang) serta mendistribusikannya bersama tabung elpiji 3 kg dari Pertamina.
2. PT. Pertamina (Persero) yang bertugas sebagai :
Menyediakan tabung elpiji 3 kg untuk perdana ditambah kebutuhan tabung untuk rolling.
Mempersiapkan infrastruktur dan jalur distribusinya dan lain-lain.
3. Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, ditunjuk untuk melakukan sosialisasi program peralihan penggunaan minyak tanah ke elpiji.
Pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah dalam mengkonversi minyak tanah ke elpiji ini terus bergulir dari mulai kebijakan ini digulirkan hingga saat ini. Hal yang mengemuka dari pihak kontra adalah ketidaksiapan pemerintah sebagai regulator dan juga kebanyakan masyarakat yang masih di dominasi lapisan menengah kebawah sebagai pengguna elpiji.
Salah satu dampak negative yang dirasakan saat ini adalah banyaknya kasus ledakan tabung elpiji 3 kg. Adapun penyebab dari ledakan tersebut adalah ketidak pahaman masyarakat dalam menggunakan tabung elpiji yang benar, hingga adanya dugaan tabung gas illegal yang tidak sesuai standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Menurut data Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) (2) ,sejak kebijakan ini diberlakukan pada tahun 2007, sedikitnya telah terjadi 97 kasus ledakan tabung gas.


(2) sumber www.kabarinews.com/article 8/10/2010
Mayoritas terjadi pada tabung gas ukuran 3 kg. Dengan jumlah korban tewas puluhan orang dan korban luka lebih dari 100 orang, maka peristiwa ini tidak bias lagi dianggap remeh. Pemerintah harus bertanggung jawab penuh dalam menyediakan tabung gas yang aman dan nyaman bagi masyarakat.

B. Analisis Kasus Terhadap Teori
Niat pemerintah mendorong masyarakat, khususnya lapisan menengah kebawah untuk menggunakan elpiji dapat kita lihat sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan mutu hidup masyarakat itu sendiri.
Minyak tanah sebagai salah satu bahan bakar minyak yang telah lama digunakan oleh hampir sebagian besar masyarakat Indonesia telah menjadi suatu kebutuhan yang membudaya. Minyak tanah dengan segala kekurangannya dianggap oleh sebagian masyarakat lapisan menengah kebawah sebagai kebutuhan dasar yang sesuai dengan social ekonomi mereka. Mereka, masyarakat lapisan bawah tidak merasa sulit dengan ketidak praktisan minyak tanah dibandingkan dengan gas elpiji. Mereka juga tidak terlalu memikirkan berapa banyak anggaran yang harus dikeluarkan Negara untuk biaya subsidi minyak tanah. Yang mereka pikirkan hanya adalah suatu bahan bakar yang menurut mereka sesuai dengan kondisi social ekonomi mereka.
Persoalan budaya seringkali menjadi batu sandungan ketika Pemerintah atau regulator mengeluarkan suatu kebijakan baru. Kebijakan yang dianggap asing bagi sebagian mereka yang memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang masalah energy.
Keputusan pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah ke gas elpiji pada 2007 silam, telah membawa dampak buruk bagi mereka para korban ledakan tabung gas elpiji 3 kg. Apapun factor dari ledakan tabung tersebut, Pemerintah sebagai regulator dan sebagai pelindung masyarakat harus bertanggung jawab penuh terhadap masalah ini.
Masalah yang mengemuka setiap ledakan tabung terjadi adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap cara penggunaan tabung itu sendiri hingga dugaan kondisi tabung yang tidak sesuai standar. Pada masalah pertama, seperti kita ketahui bahwa sasaran pemerintah pada kebijakan ini adalah masyarakat lapisan menengah ke bawah yang secara garis besar memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Diperlukan waktu yang lama untuk merubah pemahaman tentang penggunaan elpiji yang baik dan aman.
Pemerintah telah melakukan berbagai macam sosialisasi penggunaan gas elpiji bagi masyarakat baik melalui media cetak, elektronik, hingga menerjunkan langsung tim sosialisasi yang langsung menuju pada masyarakat sasaran. Namun kembali lagi ketika sebuah kebijakan berhadapan dengan sebuah kebiasaan yang membudaya maka diperlukan suatu tekhnik khusus serta waktu yang tidak singkat dalam merubah pandangan mereka terhadap bahan bakar elpiji.
Kita ketahui bahwa program konversi minyak tanah ke gas elpiji merupakan program pemerintah yang dilaksanakan dengan melibatkan Pertamina sebagai vendor produsen tabung gas, dan masyarakat tentu yang menjadi sasarang program tersebut.
Pada kasus ledakan tabung gas, Pertamina sebagai produsen tabung menjadi tumpuan utama dalam menghadapi berbagai kasus ledakan tabung gas yang terjadi. Pertamina sering dianggap yang paling bertanggung jawab terhadap dampak negative dari kebijakan konversi.
Di dalam pelakasanaan program konversi itu sendiri, setidaknya terdapat tiga subyek utama yang memiliki peran dalam keterkaitan erat pada pelakasanaannya. Pertamina sebagai korporasi, Pemerintah sebagai pencetus program dan pengambil kebijakan, serta masyarkat yang dalam hal ini menjadi sasaran dari program ini. Masing-masing dari subyek ini memiliki perannya masing-masing. Pertanyaannya adalah siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab atas kerugian yang muncul dilapangan.
Pertamina sebagai produsen tabung yang digunakan dalam program ini berkaitan langsung terhadap masalah yang timbul dilapangan. Maka dari itu secara tidak langsung Pertamina turut bertanggung jawab terhadap masalah ini.
Namun bukan berarti masalah ini menjadi tanggung jawab penuh oleh Pertamina, melainkan juga menjadi tanggung jawab bersama antara ketiga subyek tadi.
Di tinjau dari teori komunikasi kebutuhan terhadap posisi Pertamina saat ini, pengaruh posisi Pertamina sebagai produsen dan penyedia tabung gas yang menjadi pokok permasalahan serta berbagai pemberitaan media terhadap kasus ini, maka Pertamina menjadi pihak paling depan yang dianggap harus bertanggung jawab terhadap akibat masalah ini.
Pada teori kausalitas, dimana setiap perbuatan menimbulkan akibat, baik secara langsunng maupun tidak langsung. Namun, tidak semua akibat menimbulkan hukum tertentu atau dengan kata lain tidak semua perbuatan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum bisa ditimbulkan oleh satu perbuatan atau satu delik dan bisa juga ditimbulkan oleh beberapa perbuatan atau serangkaian perbuatan yang saling berhubungan dan saling mendukung untuk terjadinya suatu akibat. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh serangkaian perbuatan seperti contoh tersebut, menuntut adanya sebab terdekat yang bisa dimintai pertanggung jawabannya. Dalam hukum pidana, tentang hal tersebut memiliki suatu teori yang disebut teori sebab-akibat.
Kaitannya dengan Pertamina sebagai korporasi dan produsen tabung elpiji adalah posisi Pertamina sendiri sebagai satu-satunya perusahaan energy minyak dalam negeri yang ditunjuk pemerintah sebagai penyedia pasokan energy sehingga menjadikan Pertamina sebagai korporasi yang berkaitan erat dengan masyarakat sebagai penggunan bahan bakar dan pertamina sebagai penyedia bahan bakar, yang dihubungkan didalam program konversi minyak tanah ke gas elpiji.
Kerugian yang terjadi juga harus dianalisis dengan mempertimbangkan peran masing-masing pihak dalam melaksanakan program ini. Pada kasus ini Pertamina tidak dapat dikenakan tanggung jawab sendiri atas ledakan tabung gas yang terjadi. Sesuai dengan Perpres tentang penyediaan dan pendistribusia elpiji tabung 3 kg, (pasal 11) yaitu, Menteri melakukan pengawasan dan verifikasi terhadap pelaksanaan kegiatan penyediaan dan pendistribusian elpiji 3 kg. Maka dari pasal ini jelas bahwa seluruh proses penyediaan dan pendistribusian tabung elpiji 3 kg oleh Pertamina diawasi langsung oleh Pemerintah. Sehingga ketika terjadi sebuah kesalahan prosedur dilapangan yang menyebabkan terjadinya ledakan tabung, maka pihak pengawas turut serta bertanggung jawab dalam masalah yang terjadi.
Pada kasus ledakan tabung gas elpiji, memang posisi Pertamina sebagai produsen tabung gas 3 kg. secara hukum, Pertamina sebagai korporasi tidak dapat dibebani tanggung jawab pidana. Hal ini sesuai dengan system pertanggung jawaban yang dianut oleh KUHP, pasal 59 KUHP yaitu bahwa korporasi tidak dapat dibebani pertanggung jawaban pidana dikarenakan korporasi tidak memiliki kalbu atau niat untuk berbuat jahat, namun yang dapat dikenakan sanksi pidana adalah pengurus dari korporasi itu sendiri yang memiliki kalbu untuk melakukan kejahatan.
Pertanggungjawaban pertamina sebagai korporasi dilihat hanya pada saat produksi tabung gas elpiji 3 kg serta pengisiannya. Apakah terdapat kesalahan dalam produksi yang menyebabkan cacat sehingga menyebabkan korban. Secara umum Pertamina hanyalah rekanan pemerintah dalam menjalankan program konversi pada bagian penyediaan tabung elpiji. Sehingga permasalahan yang muncul akibat dari ledakan tabung elpiji 3kg, bukan hanya menjadi tanggung jawab Pertamina selaku produsen tabung tetapi juga menjadi tanggung jawab Pemerintah yang merupakan program Pemerintah.

C. Pendapat dan Saran
Pada dasarnya Pemerintah memiliki suatu niat dari kebijakan yang dikeluarkannya. Salah satu niat Pemerintah terhadap kebijakan konversi minyak tanah ke gas elpiji adalah untuk meningkatkan mutu dan taraf hidup masyarakat. Serta untuk menjamin ketersediaan energy gas bumi dibanding dengan energy minyak bumi yang semakin menipis.
Sebuah kebijakan hendaknya dapat dilihat dari berbagai sisi. Dari sisi Pemerintah, adalah sebagai upaya penghematan energy dan juga pengeluaran subsidi minyak yang memakan biaya yang cukup besar. Sedangkan dari sisi masyarakat adalah perlunya bahan bakar yang aman, mudah digunakan dan terjangkau.
Untuk mencapai suatu tujuan yang baik dari kebijakan konversi ini, hendaknya perlu dukungan dari seluruh pihak yang berkait baik Pemerintah, swasta, serta masyarakat sebagai konsumen. Tidak mudah memang untuk melepas sebuah subsidi seperti subsidi minyak. Tak hanya masalah ekonomi semata, namun juga masalah social, budaya hingga politik.
Untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dari ledakan tabung gas elpiji 3 kg, pemerintah beserta pihak-pihak terkait harus lebih aktif dalam mensosialisasikan penggunaan elpiji yang baik dan benar sehingga aman untuk digunakan. Pemerintah juga harus mengawasi secara ketat peredaran tabung elpiji 3 kg agar tidak dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Memang bagi sebagian besar masyarakat, berpindah kebiasaan menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar merupaka sesuatu yang memerlukan perubahan social, budaya dan ekonomi. Karna kita ketahui secara ekonomi masih banyak masyarakat Indonesia yang belum mampu untuk menyesuaikan dengan apa yang ditetapkan oleh pemerintah. Dan ini semua merupakan tanggung jawab bersama guna mencapai suatu tujuan bersama.

D. Daftar Pustaka
http://www.tambangnews.com/regulasi/277-uu-no-22-tahun-2001-tentang-minyak-dan-gas-bumi.html
http://blog.unila.ac.id/redha/2009/11/19/program-nasional-konversi-minyak-tanah-ke-lpg/
http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/260-agen-dan-pengkalan-minyak-tanah-dilibatkan-dalam-konversi-elpiji.html
http://www.kabarinews.com/article/Berita_Indonesia/Jakarta/JUMLAH_KORBAN_LEDAKAN_TABUNG_GAS_TAK_BISA_DIANGGAP_SEPELE/35338
http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/09/11/212/144884/mengevaluasi-konversi-gas
http://setyopamungkas.wordpress.com/2010/08/19/tanggung-jawab-korporasi-terhadap-kerugian-dalam-program-konversi-gas-lpg/
http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/08/26/brk,20100826-274107,id.html
http://setia-ceritahati.blogspot.com/2009/04/tentang-teori-kausalitas.html
http://www.jonathansarwono.info/korelasi/korelasi.htm
http://www.serambinews.com/news/view/35410/warga-ikut-sosialisasi-tabung-gas-elpiji
http://linbud.wordpress.com/2009/06/30/perubahan-budaya-dari-minyak-tanah-ke-gas-elpiji/
http://www.panazaba.org/dl.php?folder=Perundangan&download_file=Buku%20I%20Aturan%20Umum%20KUHP.rtf
http://international.okezone.com/read/2008/01/03/18/72371/akhirnya-harga-minyak-dunia-tembus-100-dolar-as